Pahlawan datang dan pergi, tapi ada satu yang selalu di hati, dan
tetap menjadi yang terbaik. Entah terbuat dari ‘lem’ jenis apa, tapi
kepahlawanannya pun menempel terus dihati saya. Dialah, papa saya.
Papa saya, papa yang biasa saja sebenarnya. Satu-satunya yang jadi
luar biasa adalah, kenyataannya bahwa dia adalah ayah kandung saya, bukan yang
lain. Kita enggak pernah bisa memilih, siapa dan bagaimana ayah atau ibu kita.
Tuhanlah yang milih. Dan, itu pasti ada maksud yang baik.
Kata ‘kepahlawanan’ sendiri adalah sebuah kata yang berat. Kata
yang didalamnya pasti mengandung cerita hebat. Cerita kepahlawanan papa saya
yang paling hebat adalah saat dia bahkan menjadi ‘motivator’ yang sangat
berpengaruh untuk kebaikan hidup saya. Dia rela terkena gagal ginjal stadium 5
atau stadium akhir. Seumur hidup saya, tidak pernah terbayang sama sekali papa
akan begini. Pada saat itu, dunia seperti mau runtuh. Beragam macam pikiran
akan masa depan bercampur dengan ketakutan akan sia² segala mimpi yang saya
rancang dalam tujuan hidup saya. Aku takut. Takut kehilagan papa sekarang, aku
belum siap, gak siap, dan gak akan pernah siap.
Sampai akhirnya hari yang kutakutkan itu tiba. Ya, hari dimana
papa mencapai puncak perjuangannya melawan penyakit mematikan itu. Tangan
kanannya bengkak, organ tubuhnya rusak semua, semua system kerja pada tubuhnya
sudah digantikan oleh mesin. Bernafas dengan mesin, obat, eksresi, semua dengan
mesin seperti bukan lagi mahluk bumi. Kondisinya semakin parah, dan akhirnya
dengan mudahya segala jenis penyakit masuk ke tubuhnya, infeksi paru², jantung,
dan akhirnya meninggal. Lalu, apa hubungannya dengan hidup saya? Banyak.
Detik² menjelang ajal itu, saya hanya ingin memegang tangannya,
memegang dengan erat tangannya yang bengkak dan berkeringat itu, kenapa?
Entahlah, saat itu saya merasa ketakutan itu menjalar dalam diri saya. Takut
tak akan bisa memegang tangan papa lagi untuk yang terakhir kali. Takut semua
ini berakhir, takut papa benar² pergi dari hidup saya, dan saya rasa ini
terlalu cepat.
Bahkan sejak papa kritis, rasa ingin sekolah sudah lenyap begitu
saja, udah gak ada minat dan niat untuk sekolah, sekolah menjadi terpaksa,
tidak bersemangat, dan di sekolah hanya berfikir tentang papa, hanya ingin
dekat dengan papa, udah itu aja. Setiap hari jum’at sepulang sekolah, saya
langsung bergegas pergi sendiri ke RS. Fatmawati. Bayangkan saja, anak cewek
berusia 17 tahun bolak balik dari rumah-fatmawati sendirian naik angkot malam²
udah jadi kebiasaan sehari² sejak papa masuk ICU. Bau aroma ruang ICU menjadi
makanan sehari², apalagi teriakan histeris keluarga pasien saat kerabatnya
merenggut nyawa di ICU. Dimata saya, ruang ICU menjadi tempat untuk menunggu.
Menunggu apakah kesembuhan akan datang, ataukah justru ajal yang akan menjemput.
ICU menjadi tempat merenggut nyawa yang mematikan. Persepsi saya tentang ruang
ICU bukan lagi ruang kritis pasien, melainkan ruang merenggut ajal yang angker
dan mematikan. Bayangkan saja, banyak nyawa melayang diruang itu, termasuk
arwah papa saya. Ruang ICU menjadi trauma sendiri bagi saya.
Saat ayah saya meninggal, saya enggak tahu alasan apa yang ada di
benak Tuhan, sampai Dia tega begitu aja mengambil nyawa papa saya, disaat umur
saya masih labil, bahkan belum mengenal rasanya ‘first kiss’ gitu. Saat itu,
saya dikecewakan Tuhan. Dan serius kawan, pahitnya rasa kecewa itu lebih parah
dibanding putus dengan pacar!
Dunia seperti mengejek saya waktu itu. Semua orang hanya
menyaksikan, berbicara agar begini begitu, namun mereka tidak merasakan apa
yang aku rasakan. Mereka tidak mengerti!
Itulah awal dari kiamat kecil di keluarga saya. Semua serasa
terpukul dengan kematian papa yang begitu cepat. Sosok papa yang sangat
mendominasi rumah, yang bijak, yang memberi pengaruh banyak bagi istri dan
anak²nya kini pergi begitu cepat meninggalkan kita. Kita semua serasa
kehilangan arah. Nyokap, jadi berubah dan seperti tidak ada semangat untuk
menjalani hari², adik jadi berubah mencari pelarian dengan semakin bandel, dan
saya? Saya merasa sejak kematian papa semua yang saya jalani terasa sia².
Motivator saya sudah pergi. Saya merasa sekolah adalah hal yang sia², kenapa?
Tujuan saya sekolah adalah melihat papa bangga dengan kesuksesan dan hal itu
tidak akan pernah terjadi! Papa sudah keburu pergi, bahkan sebelum membuat dia
bangga.
Hancur banget rasanya saya saat itu. Lebih hancur dari sekedar
patah hati. Bagaimana hancurnya? Entahlah, rasanya abstrak, terlalu abstrak
sehingga saya tidak bisa mendeskripsikannya. Sebagai anak saya telah gagal,
telah gagal membuat papa bangga, dan selama hidupnya saya hanya nyusahin beliau
dengan keegoisan saya dan permintaan saya yang kekanak²an.
Waktu terus berjalan. Kemewahan hidup dengan papa pun hilang.
Bukan hanya soal materi, tapi juga soal moment bersama beliau. Ini berarti saya
gak akan bisa nonton tv berdua dengannya, makan berdua, pergi berdua, saya
nggak bisa adu argument lagi dengannya, saat saya naik kopaja berdua papa, dan
beliau merangkul saya. Saat saya berjalan berdua beliau di PIM, saat ngomongin
nyokap dari belakang sambil cekikikan, gak akan ada lagi yang suka kepo saat
saya ngobrol berdua dengan nyokap. Gak akan ada lagi yang mengusap lembut
rambut saya saat sedang nonton tv berdua disofa. Gak akan ada lagi yang marah²
dan tiap malam selalu menyuruh saya untuk sikat gigi, dan dia sudah pasti
enggak akan ada dimoment yang sangat penting menurut saya, seperti wisuda saya,
atau bahkan saat saya nanti menikah. Percayalah, moment manis itu lebih penting
dari sekedar materi.
Katanya, setiap kejadian itu selalu ada alasannya. Tapi, saat papa
saya meninggal saya enggak ngerti alasan Tuhan. Kenapa Dia enggak menggunakan
“Kemaha-anNya” untuk menyembuhkan papa saya, tapi malah membuatnya merasakan
nafasnya yang terakhir.
Saya merasa Tuhan enggak fair, karena hanya memberi saya kesempatan
untuk kenal dan bersama² dengan papa diwaktu yang sangat singkat. Umur saya
baru 17 tahun. Dan selama itu pula saya kenal dengan sosok papa. Membuat dia
kembali hidup tentu sangat mustahil. Tapi apakah kematian seseorang akan
membuat kita tidak bisa mengenalnya lebih jauh? Papa saya meninggal di umurnya
yang ke-58 jalan 59.
Kita memang enggak perlu mengerti alasan dari setiap kejadian
pahit yang kita alami saat ini. Pastikan kita tetap melangkah, dan bisa jadi
kita akan menemukan alasan manis dibalik rasa pahit tersebut. Dan dari situ,
kita akan bersyukur. Bersyukur bahwa memiliki figur seorang ayah adalah anugrah
terindah dari Yang Maha Kuasa, meskipun saya memiliki seorang ayah hanya
sebentar, tapi saya bersyukur sempat merasakan memiliki seorang ayah yang
hebat. Ayah yang bisa menjadi motivator bagi anaknya, ayah yang sangat sayang
padaku.
Tapi seiring waktu, saya sadar bahwa itu adalah sebuah “les
privat” dari Allah untuk lebih siap menghadapi hidup. Dan enggak semua anak
ngerasain ditinggal orang tua saat masih kecil atau labil. Saya jadi ngerasa
sebagai orang pilihan. Dengan cobaan ini, saya merasa lebih tegar, lebih kuat
menghadapi hidup. Bukankah orang yang diberi cobaan oleh Allah derajatnya akan
ditinggikan? Bukankah semakin berat cobaan yang dipikul maka kita akan semakin
dekat dengan-Nya? Itu artinya saya semakin dekat dengan-Nya. Bukankah itu
keinginan saya dari dulu, dekat dengan Sang Maha Pencipta, dan disayang
oleh-Nya. Dan saya rasa, saya adalah orang pilihan yang didekatkan oleh-Nya. Amin
Ya Rabb.